We wedded on the celebration of Indonesia's Independence Day, 17 August 2011.

Frequently asked questions about my marriage

for English see below


Dalam buku Si Parasit Lajang (2003) Anda mengatakan tidak akan menikah. Dalam buku Pengakuan Eks Parasit Lajang (2013) Anda bercerita tentang pernikahan Anda. Anda tampak tidak konsisten?

Saya tidak mau menikah sebagai pernyataan bahwa: 1) Orang boleh tidak menikah. (Konteks: di Indonesia, ada tekanan kultural agar orang harus menikah). 2) Hukum perkawinan di Indonesia masih tidak adil sebab secara otomatis menempatkan suami sebagai kepala keluarga. Tentang siapa yang jadi kepala keluarga, atau apa harus ada kepala keluarga, serahkan saja pada pasangan yang menikah. Biar itu menjadi urusan pribadi orang. Jangan jadikan aturan negara. Sebab, itu tidak adil dan tidak benar. Praktiknya, banyak sekali istri yang menjadi tulang punggung keluarga, tetapi ia tidak mendapatkan pengakuan, perlakuan, dan penghargaan yang layak sebagai pencari nafkah utama.
Saya memang kemudian menikah, tetapi tidak secara hukum negara. Saya menikah secara hukum Gereja Katolik, dan tidak mendaftarkan pernikahan saya ke catatan sipil. Dengan demikian, saya ingin tetap konsisten menyuarakan kritik pada hukum perkawinan yang belum adil.

Kenapa Anda harus menikah, meskipun “hanya” dengan cara agama?
Alasan di bawah ini memang mungkin sulit difahami banyak orang, tetapi memang itu yang sebenarnya, seperti telah saya tulis dalam Pengakuan Eks Parasit Lajang.

1) Bukan cinta yang membuat saya menikah. Saya mencintai pasangan hidup saya, tapi saya bisa mencintainya tanpa harus menikah. Kami toh sudah hidup bersama sepuluh tahun dan sudah mengatur pembagian tanah dan harta. Jadi, sama sekali bukan cinta yang menyebabkan saya menikah.

2) Saya menikah sebagai konsekuensi dari keinginan saya untuk menyatakan solidaritas terhadap komunitas Katolik yang pada saat itu mengalami diskriminasi. Di beberapa tempat mereka sudah bertahun-tahun tidak bisa membangun gereja. Gereja dan sekolah yang sudah berdiri diserang. Rumah sakit tidak bisa membangun fasilitas baru. Saya berasal dari komunitas Katolik, meskipun sudah lama saya meninggalkan Gereja. Saya meninggalkan Gereja karena saya punya agenda isu jender, yaitu mengajak perempuan untuk tidak takut hidup tanpa menikah. Saya mau menunjukkan bahwa perempuan bisa sehat-sehat saja tanpa menikah. Nah, itu artinya hubungan saya dengan pasangan saya adalah zinah menurut hukum Gereja Katolik. “Hukuman” bagi orang yang melakukan dosa besar (apalagi dengan terang-terangan dan malah mempromosikan) dalam Gereja Katolik hanyalah tidak boleh menerima hosti, atau roti yang dibagikan di puncak perayaan misa ("misa" adalah istilah yang dipakai Gereja Katolik, yang mungkin sebanding dengan "kebaktian" atau "perjamuan" dalam Gereja-gereja lain). Gereja Katolik percaya hosti itu kudus. Saya menghormati peraturan itu.
Persoalannya, kemudian saya mau menyatakan solidaritas kepada umat Katolik. Bagaimana caranya? Satu-satunya cara adalah bisa bersama-sama menerima hosti lagi. Artinya, saya harus menikah secara Katolik. Saya juga tidak keberatan dengan pernikahan dalam hukum Gereja Katolik, sebab tidak aturan bahwa suami adalah kepala keluarga.

Itu alasan saya menikah, yang saya sampaikan secara lebih rinci kepada pastor yang memeriksa saya. (Dalam hukum Katolik, pastor harus melakukan pemeriksaan verbal terhadap calon pengantin.)
Jadi, sebetulnya saya coba konsisten dengan cara saya. Saya tetap mengkritik hukum perkawinan yang patriarkal. Dan saya tetap menganggap orang berhak dan baik-baik saja untuk tidak menikah.

Apakah memperjuangkan perkawinan yang setara harus dengan cara itu?

Tentu ini bukan satu-satunya cara. Banyak cara harus ditempuh oleh banyak orang. Yang saya lakukan adalah demi menghilangkan rasa takut yang disebabkan tekanan masyarakat. Menggugat UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi pernah saya pikirkan, tetapi tindakan itu bisa kontraproduktif.

 

Tautan Artikel:

Opini tentang perkawinan sejenis 

10+1 Langkah Beriman Tanpa Homophobia

English

In your book The Single Parasite (2003) you wrote that you would not get married. But in The Confessions of A (2013) you wrote about your marriage. That seems inconsistent.

My statement that I didn't (don’t) want to get married was (and is) a statement that: 1) everybody is entitled not to get married. (In Indonesia there is social/cultural pressure for people to marry). 2) The Indonesian marriage law is not just, because it automatically designates the husband as the head of the family. As for who is the head of the family, or whether a head of a family is even necessary, let that be the choice of the respective individuals. Let it be a private matter. Don’t make it a state affair. The rule we have now is not just. In practice, there are so many women who become the breadwinners of their families and they are not acknowledged, well treated, or appreciated as they should be.

I got married later, but not under civil law. I was married in the Catholic church, and I still do not want to record my marriage in the civil registry office. I think I continue to be consistent in voicing my opinion that the Indonesian marriage law is still unfair.


But why do you think you should get married, even though “only” in the church?

I’ve written my reasons in The Confessions of A. The book states my true feelings. But apparently it’s difficult for many people who don’t know anything about Catholicism to understand it. There are readers who felt betrayed and didn't want to read my books anymore.

1) It’s not love that motivated me to get married. I love my life partner, but I can love him without the ceremony of marriage. We had been living together for ten years and we had already agreed on a division of land and wealth. Truly, it wasn’t love that prompted me to go through the formality of marrying him.

2) I got married because I wanted to express solidarity with the Indonesian Catholic communities that were under pressure. In several localities, it has been years since they’ve been allowed to build churches. A number of existing churches and schools were attacked. There was a hospital that was not allowed to construct new facilities. I came from the Catholic community, even though I had left the church years before. I left the church because I had another agenda related to gender issues: i.e., encouraging women not to be afraid of being unmarried. That would mean that I lived in fornication--a word that people in the West have forgotten. The “punishment” for an adulterer in the Catholic church is only that he or she cannot receive the host, the consecrated wafer they distribute in mass. The church considers that ritual sacred. I respect that law.

The problem was, later on I wanted to express my solidarity with the discriminated minority that I came from. How? The only way was by enabling myself to receive the host again in a mass. That meant I had to have a Catholic wedding. I realized that I didn’t have any objection to Catholic marriage, since the canon doesn’t say that the husband is the head of the family.

That is the simple reason why I finally got married. I gave a more elaborate explanation to the priest who questioned me. (In the Catholic church, the priest has to verbally question the bride and groom.)

I think I’m still consistent in criticizing the Indonesian marriage law, which remains patriarchal. And, even though I am married now, I never say that I am better off than before.

Do you think that to struggle for equality in marriage we have to go through a wedding ceremony?

This certainly is not the only way. Different people take different paths. What I am doing is an effort to relieve or to obviate fear inflicted by social norms and pressures. I have thought about a judicial review of the marriage law too, but that may be counterproductive.

Trilogy